Ngapain Traveling ke Pulau Dewata?
Ada yang bilang, "Ngapain traveling, ngabisin duit aja. Mending uangnya ditabung buat masa depan." Kadang saya berasumsi mereka belum sempat menikmati keindahan semesta yang terpampang nyata di depan mata. Padahal melakukan suatu perjalanan bisa dijadikan tabungan hari tua. Pasalnya mereka bisa belajar banyak hal baru yang ditemui selama melakukan perjalanan mulai pendidikan karakter, kekuatan mental dan kebaikan terhadap makhluk lain baik manusia, hewan dan alam.
Melabelkan diri sebagai seorang traveler sah-sah saja, terlebih sekarang orang bebas berekspresi dengan mengklaim dirinya menjadi apapun sesuka hati dan sudah menjadi hal yang lumrah.
Menelanjangi kaki di pantai, menikmati kuliner khas, ikut workshop membatik dan menikmati panorama malam kota dari atas bukit menjadi daya tarik seseorang untuk melakukan perjalanan. Dan, salah satu tempat menarik untuk dijelajahi ialah Pulau Dewata, Bali. Bersama Bunda Melly dan Rahma, dua teman saya yang memiliki kepribadian bertolak belakang, kami menghitamkan kulit, menyusuri jalanan kota selama 3 hari 2 malam dengan sepeda motor sewaan teman baik yang lebih dulu meluluskan diri dari kantor, Kak Lina dan pasangannya, Mas Edi.
Sebelum sampai Bali, sudah jauh-jauh hari kami sepakat tidak memasukkan destinasi mainstream seperti Kuta dan beberapa resto lucu nan Instagramable. Liburan ala backpacker dengan bermodalkan Maps (itu pun suka keliru antara belok kanan/kiri dan tiba-tiba masuk gang tikus gelap gulita di malam hari) dan bertanya orang di jalan meskipun tetap tersesat juga menjadikan liburan tambah mesra oleh bacotan-bacotan Bunda hehe (maklumin aja kalau dia bawel)
"Bisa baca Maps nggak??"
"Astaga puter balik mulu udah dua kali"
"Baru juga keluar gang, udah salah"
"Gue dengerin lagu aja ah kezel"
Yha begitu. Dan kami menertawakan kekonyolan ini..
Hari keberangkatan pun tiba. Minggu, 4 November 2018 kami tiba di Bandara International Ngurah Rai Bali pukul 10.45 WITA dan langsung menuju penginapan Bali Bee House di kawasan Kerobogan, Seminyak. Kamar yang disewakan beraneka macam, tapi karena keterbatasan dan keinginan untuk berfoya-foya lebih dari cukup akhirnya pilihan jatuh pada kamar dorm female only yang berkapasitas 9 orang dimana hanya dibandrol Rp90.000/malam. Baru saja menginjakkan kaki dan bertemu kasur, wacana pertama sudah jatuh, sedari awal kami bertekad untuk langsung melakukan perjalanan namun karena kelelahan akibat kurang tidur, kami memutuskan tidur ayam.
Lucu kan kamarnya!
Perut keroncongan membuat kami bergegas dan menuju destinasi pertama 'Nasi Pedas Bu Oki', warung makan hits yang menawarkan nasi campur khas Bali dibandrol Rp25.000,00/porsi dan Rp15.000,00 untuk kelapa muda batok. Tak ingin berlama-lama, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Melasti yang keindahan tebingnya membuat kami terpana dan tak berhenti mengabadikan momen. Puas bermain air, melihat anjing-anjing lepas dan berswafoto, kami pun bergegas menuju Uluwatu untuk menyaksikan tari kecak yang menjadi daya tarik wisatawan 'asing'.
Di tengah perjalanan, kami begitu gembira ketika menjumpai Indomaret, toko waralaba yang menjamur di belantara kota sepanjang Indonesia. Cek link di bawah untuk mengetahui alasan konyolnya :
Sayang, sesampainya di pintu masuk, Kak Lina dan Mas Edi justru mangkir. Ada mitos menyebut kalau pasangan yang memasuki kawasan Uluwatu hubungannya akan retak. Oh, kepercayaan yang menjamur di beberapa tempat destinasi. Tapi rupanya mitos itu hanya berlaku ketika pasangan akan melakukan sembahyang di Pura Uluwatu. Duh, Kak Lina kena omel pacarnya kan gara-gara kepintarannya ini.
Untuk menikmati suguhan tarian khas Bali yang didominasi lelaki, kami perlu mengeluarkan kocek Rp.20.000/kepala untuk masuk ke area dan Rp.100.000/pertunjukannya. Kata orang, monyet akan berkeliaran kesana kemari, tapi sampai waktu pertunjukkan akan tiba kami hanya melihat seekor monyet yang bertengger di atas tebing menghadap samudra. Syukurlah, karena menurut cerita setempat monyet-monyet di Uluwatu jahil dan suka mengambil barang pengunjung terlebih makanan.
Sebelum puas memandang matahari yang bergerak turun, terselip dua novel dari mereka, salah satunya bercerita tentang kopi sementara satunya soal ketakutan seorang perempuan yang enggan hidup sendiri dibunuh sepi. Lucu ya. Mwah mwah.
Para penari yang didominasi pria ini mulai berdatangan, bertelanjang dada dan memakai celana yang dilengkapi kain khas Bali. Pertunjukkan yang berlangsung hampir 2 jam membuat mata kami enggan terpejam meskipun kantuk sudah merayu. Uniknya, setiap pengunjung mendapatkan sebuah selebaran yang menceritakan jalan cerita. Sayangnya, aksi yang memperkenalkan akan kebudayaan ini justru dipadati oleh turis mancanegara sementara wisatawan lokal hanya terlihat beberapa.
Hari kedua sesuai agenda, kami akan menyusuri Ubud mulai Tegalalang, Bukit Campuhan, Goa Gajah hingga pasar tradisionalnya. Wacana pun kembali menghampiri karena kami baru bisa mengumpulkan nyawa pukul 10.00 WITA. Ck! Liburan atau leha-leha di rumah? Akhirnya kami bergegas dan hanya mengunjungi satu destinasi, Bukit Campuhan yang digadang-gadang menjadi salah satu spot terbaik untuk menikmati sunrise. Kami pun baru sampai pukul 12.00 siang alias matahari lagi caper-capernya sama muka bumi, panas pun tak masalah.
Bukit Campuhan hanya memiliki panjang 2 km yang hanya bisa disusuri dengan berjalan kaki, di tengah perjalanan setelah meluruskan kaki ada insiden kecil yang membuat sekujur tubuh wanita dengan perawakan kecil nan kurus itu bengkak. Lengan kirinya habis disentuh ulat bulu, begini cerita lengkapnya :
"Ada kejadian lucu sebelum foto ini berselancar.
Sore itu, Senin (5/11) setelah turun dari Bukit Campuhan, Ubud dan menyantap makan siang di ujung jalan kami tetap memutuskan pergi ke Pasar Ubud. Iya tetap. Pasalnya salah satu diantara kami mengalami kejadian tak mengenakkan saat menanjak bukit, lengan kirinya baru saja diselimuti ulat bulu yang kemudian baru dirasa ketika keberadaannya di penyangga kacamata sebelah kiri. Wajahnya seketika panik, ulat bulu segera disingirkan dan lengan dioles minyak, minyak telon
Dasar anaknya bebel, disuruh turun tetap maunya nanjak dengan dalih, "Ah kalian cemen sekali cepat menyerah". Padahal seyogyanya kami mengkhawatirkan gatal dan biduran yang nantinya akan membias ke seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, kami lanjutkan pendakian demi lunch di atas bukit yang mhaha kekhawatiran itu nyata, sekujur tubuhnya penuh biduran, terlebih angin membuat gatalnya semakin merajalela sehingga membuatnya tak lagi sedap buat makan
Selama menyusuri Pasar Ubud, ia tak tahan, badannya lemas, tak punya tenaga, cuma bisa bersandar dan mengerang kesakitan. Saya berusaha menuntunnya, alih-alih dia minta bergerak, saya diam "Sebentar" sambil mengeluarkan ponsel dan mengabadikan dream catcher dihadapan kami yang keunikannya seraya panggilan untuk dimiliki.
Tak lama, kami belikan apa yang dia perlukan. Lalu dia memilih bersandar dan mempersilahkan kami berbelanja dengan perasaan cemas. Sesampainya di hostel, badannya dibasuh dengan sabun sulfur, "Lumayan" katanya.
Setelah melepas lelah di hostel, kami pun bergegas untuk menutup hari penuh drama dengan setangkup gelato. Layaknya anak kecil, kami pun melahap es krim di Gusto Gelato yang hanya berjarak 7 menit dari hostel dengan khusyuk. Nikmaat banget, tiada tandingan. Dan, sebagai pecinta kopi pilihan jatuh ke varian kopi dan coklat, penawarnya.
Last day in Bali, kami bangun lebih awal dan mendapati beberapa dorm sudah memiliki penghuni dan mereka nampaknya sudah melenggang sedari pagi. Tak ingin kehabisan waktu tugas pun dibagi, sementara Bunda mandi, aku dan Rahma memesan makanan. Tepat waktu. Makanan datang saat kami sudah kelaparan.
Selayaknya orang berlibur, kami pun memutuskan untuk membeli barang khas Bali untuk diri sendiri di Pasar Seni Sukawati. Ck! Se egois itu? Jelas. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 50 menit, nyaris sama dengan barang-barang yang dijajakan di Pasar Ubud namun tawarannya sedikit murce, ya gimana di Ubud kebanyakan diisi turis. Dan, sebagai anak yang tidak ingin durhaka dari Ibuk, saya pun menuruti membelikannya barang di Jogeryang sebenernya sungguh malas karena letaknya bertolak belakang dari Pasar Sukawati.
"Hal terpenting dari suatu perjalanan adalah pengalaman seru yang nggak terlupakan."
Melabelkan diri sebagai seorang traveler sah-sah saja, terlebih sekarang orang bebas berekspresi dengan mengklaim dirinya menjadi apapun sesuka hati dan sudah menjadi hal yang lumrah.
Menelanjangi kaki di pantai, menikmati kuliner khas, ikut workshop membatik dan menikmati panorama malam kota dari atas bukit menjadi daya tarik seseorang untuk melakukan perjalanan. Dan, salah satu tempat menarik untuk dijelajahi ialah Pulau Dewata, Bali. Bersama Bunda Melly dan Rahma, dua teman saya yang memiliki kepribadian bertolak belakang, kami menghitamkan kulit, menyusuri jalanan kota selama 3 hari 2 malam dengan sepeda motor sewaan teman baik yang lebih dulu meluluskan diri dari kantor, Kak Lina dan pasangannya, Mas Edi.
Sebelum sampai Bali, sudah jauh-jauh hari kami sepakat tidak memasukkan destinasi mainstream seperti Kuta dan beberapa resto lucu nan Instagramable. Liburan ala backpacker dengan bermodalkan Maps (itu pun suka keliru antara belok kanan/kiri dan tiba-tiba masuk gang tikus gelap gulita di malam hari) dan bertanya orang di jalan meskipun tetap tersesat juga menjadikan liburan tambah mesra oleh bacotan-bacotan Bunda hehe (maklumin aja kalau dia bawel)
"Bisa baca Maps nggak??"
"Astaga puter balik mulu udah dua kali"
"Baru juga keluar gang, udah salah"
"Gue dengerin lagu aja ah kezel"
Yha begitu. Dan kami menertawakan kekonyolan ini..
Bocah Touring, Anak Tayo Lalala~
Hari keberangkatan pun tiba. Minggu, 4 November 2018 kami tiba di Bandara International Ngurah Rai Bali pukul 10.45 WITA dan langsung menuju penginapan Bali Bee House di kawasan Kerobogan, Seminyak. Kamar yang disewakan beraneka macam, tapi karena keterbatasan dan keinginan untuk berfoya-foya lebih dari cukup akhirnya pilihan jatuh pada kamar dorm female only yang berkapasitas 9 orang dimana hanya dibandrol Rp90.000/malam. Baru saja menginjakkan kaki dan bertemu kasur, wacana pertama sudah jatuh, sedari awal kami bertekad untuk langsung melakukan perjalanan namun karena kelelahan akibat kurang tidur, kami memutuskan tidur ayam.
Lucu kan kamarnya!
Perut keroncongan membuat kami bergegas dan menuju destinasi pertama 'Nasi Pedas Bu Oki', warung makan hits yang menawarkan nasi campur khas Bali dibandrol Rp25.000,00/porsi dan Rp15.000,00 untuk kelapa muda batok. Tak ingin berlama-lama, perjalanan dilanjutkan menuju Pantai Melasti yang keindahan tebingnya membuat kami terpana dan tak berhenti mengabadikan momen. Puas bermain air, melihat anjing-anjing lepas dan berswafoto, kami pun bergegas menuju Uluwatu untuk menyaksikan tari kecak yang menjadi daya tarik wisatawan 'asing'.
Di tengah perjalanan, kami begitu gembira ketika menjumpai Indomaret, toko waralaba yang menjamur di belantara kota sepanjang Indonesia. Cek link di bawah untuk mengetahui alasan konyolnya :
Wisata Indomaret
Sayang, sesampainya di pintu masuk, Kak Lina dan Mas Edi justru mangkir. Ada mitos menyebut kalau pasangan yang memasuki kawasan Uluwatu hubungannya akan retak. Oh, kepercayaan yang menjamur di beberapa tempat destinasi. Tapi rupanya mitos itu hanya berlaku ketika pasangan akan melakukan sembahyang di Pura Uluwatu. Duh, Kak Lina kena omel pacarnya kan gara-gara kepintarannya ini.
Untuk menikmati suguhan tarian khas Bali yang didominasi lelaki, kami perlu mengeluarkan kocek Rp.20.000/kepala untuk masuk ke area dan Rp.100.000/pertunjukannya. Kata orang, monyet akan berkeliaran kesana kemari, tapi sampai waktu pertunjukkan akan tiba kami hanya melihat seekor monyet yang bertengger di atas tebing menghadap samudra. Syukurlah, karena menurut cerita setempat monyet-monyet di Uluwatu jahil dan suka mengambil barang pengunjung terlebih makanan.
Sebelum puas memandang matahari yang bergerak turun, terselip dua novel dari mereka, salah satunya bercerita tentang kopi sementara satunya soal ketakutan seorang perempuan yang enggan hidup sendiri dibunuh sepi. Lucu ya. Mwah mwah.
Para penari yang didominasi pria ini mulai berdatangan, bertelanjang dada dan memakai celana yang dilengkapi kain khas Bali. Pertunjukkan yang berlangsung hampir 2 jam membuat mata kami enggan terpejam meskipun kantuk sudah merayu. Uniknya, setiap pengunjung mendapatkan sebuah selebaran yang menceritakan jalan cerita. Sayangnya, aksi yang memperkenalkan akan kebudayaan ini justru dipadati oleh turis mancanegara sementara wisatawan lokal hanya terlihat beberapa.
Suguhan Tari Kecak, Uluwatu
Hari kedua sesuai agenda, kami akan menyusuri Ubud mulai Tegalalang, Bukit Campuhan, Goa Gajah hingga pasar tradisionalnya. Wacana pun kembali menghampiri karena kami baru bisa mengumpulkan nyawa pukul 10.00 WITA. Ck! Liburan atau leha-leha di rumah? Akhirnya kami bergegas dan hanya mengunjungi satu destinasi, Bukit Campuhan yang digadang-gadang menjadi salah satu spot terbaik untuk menikmati sunrise. Kami pun baru sampai pukul 12.00 siang alias matahari lagi caper-capernya sama muka bumi, panas pun tak masalah.
Bukit Campuhan hanya memiliki panjang 2 km yang hanya bisa disusuri dengan berjalan kaki, di tengah perjalanan setelah meluruskan kaki ada insiden kecil yang membuat sekujur tubuh wanita dengan perawakan kecil nan kurus itu bengkak. Lengan kirinya habis disentuh ulat bulu, begini cerita lengkapnya :
"Ada kejadian lucu sebelum foto ini berselancar.
Sore itu, Senin (5/11) setelah turun dari Bukit Campuhan, Ubud dan menyantap makan siang di ujung jalan kami tetap memutuskan pergi ke Pasar Ubud. Iya tetap. Pasalnya salah satu diantara kami mengalami kejadian tak mengenakkan saat menanjak bukit, lengan kirinya baru saja diselimuti ulat bulu yang kemudian baru dirasa ketika keberadaannya di penyangga kacamata sebelah kiri. Wajahnya seketika panik, ulat bulu segera disingirkan dan lengan dioles minyak, minyak telon
Dasar anaknya bebel, disuruh turun tetap maunya nanjak dengan dalih, "Ah kalian cemen sekali cepat menyerah". Padahal seyogyanya kami mengkhawatirkan gatal dan biduran yang nantinya akan membias ke seluruh tubuhnya. Tanpa pikir panjang, kami lanjutkan pendakian demi lunch di atas bukit yang mhaha kekhawatiran itu nyata, sekujur tubuhnya penuh biduran, terlebih angin membuat gatalnya semakin merajalela sehingga membuatnya tak lagi sedap buat makan
Selama menyusuri Pasar Ubud, ia tak tahan, badannya lemas, tak punya tenaga, cuma bisa bersandar dan mengerang kesakitan. Saya berusaha menuntunnya, alih-alih dia minta bergerak, saya diam "Sebentar" sambil mengeluarkan ponsel dan mengabadikan dream catcher dihadapan kami yang keunikannya seraya panggilan untuk dimiliki.
Tak lama, kami belikan apa yang dia perlukan. Lalu dia memilih bersandar dan mempersilahkan kami berbelanja dengan perasaan cemas. Sesampainya di hostel, badannya dibasuh dengan sabun sulfur, "Lumayan" katanya.
Setelah melepas lelah di hostel, kami pun bergegas untuk menutup hari penuh drama dengan setangkup gelato. Layaknya anak kecil, kami pun melahap es krim di Gusto Gelato yang hanya berjarak 7 menit dari hostel dengan khusyuk. Nikmaat banget, tiada tandingan. Dan, sebagai pecinta kopi pilihan jatuh ke varian kopi dan coklat, penawarnya.
Coffee + Chocolate Rp.28.000,00
Last day in Bali, kami bangun lebih awal dan mendapati beberapa dorm sudah memiliki penghuni dan mereka nampaknya sudah melenggang sedari pagi. Tak ingin kehabisan waktu tugas pun dibagi, sementara Bunda mandi, aku dan Rahma memesan makanan. Tepat waktu. Makanan datang saat kami sudah kelaparan.
Dorm in Bali Bee House
Selayaknya orang berlibur, kami pun memutuskan untuk membeli barang khas Bali untuk diri sendiri di Pasar Seni Sukawati. Ck! Se egois itu? Jelas. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 50 menit, nyaris sama dengan barang-barang yang dijajakan di Pasar Ubud namun tawarannya sedikit murce, ya gimana di Ubud kebanyakan diisi turis. Dan, sebagai anak yang tidak ingin durhaka dari Ibuk, saya pun menuruti membelikannya barang di Joger
"Hal terpenting dari suatu perjalanan adalah pengalaman seru yang nggak terlupakan."
Komentar
Posting Komentar